Tulisan ini akan saya awali dengan pernyataan serius: menurut saya, penggunaan prompt AI untuk mengedit foto ala Studio Ghibli dan menjadikannya sebagai jasa komersial adalah pelecehan terhadap karya ilustrasi dan seni secara keseluruhan.
Baru-baru ini, teknologi artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan kembali mencuri perhatian di ranah digital setelah OpenAI meluncurkan fitur terbaru pada model GPT-4o. Singkatnya, fitur tersebut memungkinkan pengguna menciptakan gambar dengan beragam gaya seni, salah satunya adalah animasi ala Studio Ghibli. Tak ayal, hal ini memunculkan tren baru yang dikenal dengan istilah “Ghiblifikasi”, yakni proses mengubah foto sederhana menjadi ilustrasi yang menyerupai gaya Studio Ghibli, studio animasi ternama asal Jepang.
Di berbagai platform media sosial, kemudian mulai bermunculan tutorial hingga tawaran jasa untuk mengedit foto biasa menjadi ghiblifikasi. Bahkan, sampai ada pengguna yang mematok harga Rp5.000 per foto dan Rp10.000 untuk paket tiga foto. Mungkin ada yang berargumen kalau hal semacam ini bisa dianggap sebagai bentuk ekspresi artistik baru dengan memanfaatkan teknologi modern. AI hanyalah alat, kita tahu, untuk membantu mewujudkan visi tertentu. Namun, ketika ada intensi untuk mendiskreditkan karya seni aslinya, maka alat itu menjadi problematik.
Studio Ghibli punya gaya khas yang diciptakan Hayao Miyazaki—bersama kedua rekannya, Isao Takahata dan Toshio Suzuki—dengan pensil di tangan selama berpuluh-puluh tahun. Animasi populer seperti Spirited Away dan My Neighbor Totoro tidak lahir dari ruang hampa, tentu saja, apalagi dari hasil respons chatbot yang diklaim seenaknya dengan pernyataan tak bertanggung jawab seperti, “Saya butuh waktu untuk mengeditnya.” Seolah-olah kita lupa bahwa yang sesungguhnya bekerja bukanlah manusia, tapi dalam hal ini ialah AI.
Makanya, kalau secara sadar kita menggunakan teknologi AI untuk meniru gaya ini, apalagi sampai ada upaya komersialisasi demi keuntungan pribadi, maka perlu dipertanyakan: apakah ini bentuk penghormatan atau eksploitasi?
Belum lagi kalau kita bicara dari segi bisnis. Praktik semacam ini jelas menyingkirkan seniman konvensional yang menguasai gaya serupa dengan cara yang masih manual. Mengedit dengan “prompt AI” tentu lebih cepat dan murah, sehingga berpotensi besar menggerus pasar ilustrator sungguhan. Para penjual jasa ghiblifikasi ini mungkin akan berdalih kalau mereka hanya memenuhi permintaan pasar—maka jelas inilah yang dimaksud Mark Fisher dengan, “Lebih mudah membayangkan akhir dunia daripada akhir kapitalisme.” Seakan-akan mengamini pernyataan tersebut, Sam Altman selaku CEO OpenAI, justru ikut-ikutan mengganti foto profilnya di media sosial dengan gambar bergaya Studio Ghibli.
Di luar konteks keriuhan ghiblifikasi ini, sebetulnya Hayao Miyazaki pun pernah mengungkapkan perasaan muaknya terhadap teknologi AI dalam sebuah dokumenter pada 2016 silam. Miyazaki sampai menegaskan kalau ia tidak akan pernah mencoba teknologi AI ke dalam karya-karyanya, sebab ia masih menjunjung tinggi nilai autentisitas. Bahkan, secara tegas ia menganggap teknologi artifisial semacam itu sebagai penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri.
Menanggapi kegaduhan pro dan kontra yang bermunculan dari tren ghiblifikasi ini, OpenAI menyatakan bahwa GPT-4o telah dilatih menggunakan data yang tersedia secara publik dan juga data eksklusif dari kemitraan dengan perusahaan seperti Shutterstock. Mereka pun mengeklaim kalau model terbaru ini tetap menjaga kebijakan menyangkut hak cipta, terutama menolak hasil gambar yang secara langsung dutujukan untuk meniru karya seniman yang masih hidup.
Pada akhirnya, kita tak perlu jauh-jauh membahas isu ini dari sisi hukum karena pelanggaran hak cipta masih sukar dibuktikan, kecuali ada yang memang terang-terangan mencuri aset resmi dari Studio Ghibli. Namun, lebih dari apa pun, masih ada etika yang perlu dihormati, dan itu yang membuat manusia lebih berharga daripada kecerdasan buatan.
0 Komentar
Silakan berkomentar. Lihat apa yang akan terjadi!